Senin, 27 April 2020

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Melalui Diplomasi

Wawan Setiawan Tirta
Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dilakukan dengan cara diplomasi dan cara fisik. Perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan juga dilakukan di meja perundingan atau perjuangan diplomasi yaitu dengan cara mencari dukungan dunia internasional dan berunding langsung dengan Belanda. Berikut ini beberapa jalur diplomasi yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

A. Mencari Dukungan Internasional
Para pemimpin Indonesia pada saat itu berusaha memengaruhi dunia agar peduli terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan sekaligus mendapat dukungan serta pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia. Para pemimpin Indonesia menyadari bahwa PBB merupakan organisasi internasional yang mempunyai pengaruh besar terhadap dunia. Perjuangan mencari dukungan internasional lewat PBB dilakukan secara langsung yaitu dengan mengemukakan masalah Indonesia di hadapan sidang Dewan Keamanan PBB, dan secara tidak langsung yaitu melalui pendekatan dan hubungan baik dengan negara-negara yang akan mendukung Indonesia dalam sidang-sidang PBB, antara lain:
  1. Australia yang bersedia menjadi anggota Komisi Tiga Negara dan mendesak Belanda agar menghentikan operasi militernya di Indonesia. Australia ber peran dalam membentuk opini dunia internasional untuk mendukung Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
  2. India yang mengakui kedaulatan Indonesia dalam forum internasional, juga memelopori Konferensi Inter-Asia untuk mengumpulkan dukungan bagi Indonesia. Konferensi Inter-Asia dilaksanakan pada tahun 1949.
  3. Negara-negara Liga Arab: Mesir, Lebanon, Suriah, dan Saudi Arabia mengakui kedaulatan Indonesia. Pengakuan ini memengaruhi pandangan internasional terhadap Indonesia.
  4. Negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB. Pendekatan yang dilakukan Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada bulan Agustus 1947 berhasil memengaruhi negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB untuk mendukung Indonesia.

B. Berunding dengan Belanda
Para pemimpin Indonesia menempuh jalan damai dengan cara berunding karena menurut mereka jalan tersebut lebih baik dalam menyelesaikan sebuah konflik daripada memilih jalan perang. dan Indonesia memiliki bangsa yang waras. Perundingan tersebut dilakukan setelah Indonesia merdeka, ditengah kondisi negara yang belum kuat dan terus-menerus digempur oleh Belanda, yang bermaksud menguasai dan menjajah kembali Indonesia. Indonesia juga mengadakan perundingan langsung dengan Belanda untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda, yaitu:
  1. Awal Perundingan dengan Belanda (10 Februari 1946). Panglima AFNEI (Letnan Jenderal Christison) memprakarsai pertemuan Pemerintah RI dengan Belanda untuk menyelesaikan pertikaian Belanda-RI. Serangkaian perundingan pendahuluan dilakukan. Archibald Clark Kerr dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai penengah. Perundingan dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Pada awal perundingan, H.J. van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda. Kemudian pada tanggal 12 Maret 1946, pemerintah Republik Indonesia menyampaikan pernyataan balasan.
  2. Perundingan di Hooge Veluwe (14–25 April 1946). Setelah beberapa kali diadakan pertemuan pendahuluan, kemudian dilakukan perundingan resmi antara pemerintah Belanda dengan Pemerintah RI untuk menyelesaikan konflik yang dilakukan di Hooge Veluwe negeri Belanda. Perundingan mengalami kegagalan.
  3. Perundingan gencatan senjata (20–30 September 1946). Banyaknya insiden pertempuran antara pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu dan Belanda mendorong diadakannya perundingan gencatan senjata. Perundingan diikuti wakil dari Indonesia, Sekutu, dan Belanda. Perundingan tidak mencapai hasil yang diinginkan.
  4. Perundingan RI dan Belanda (7 Oktober 1946). Perundingan berlangsung di rumah Konsul Jenderal Inggris di Jakarta tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai PM Sutan Syahrir. Delegasi Belanda diketuai Prof. Schermerhorn. Dalam perundingan tersebut, masalah gencatan senjata yang gagal perundingan tanggal 30 September 1946 disetujui untuk dibicarakan lagi dalam tingkat panitia yang diketuai Lord Killearn dan menghasilkan persetujuan untuk diadakan gencatan senjata serta sepakat untuk menyelenggarakan perundingan politik “secepat mungkin”.
  5. Perundingan Linggarjati (10 November 1946). Perundingan antara Pemerintah RI dan komisi umum Belanda di Linggarjati Cirebon, dihadiri oleh beberapa tokoh juru runding, seperti: Lord Killearn (Inggris), Prof. Schermerhorn (Belanda), Sutan Syahrir, Mohammad Roem dan teman-teman, dan menghasilkan keputusan yang disebut Perjanjian Linggarjati: Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur Besar. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua. Perjanjian Linggarjati ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia tanggal 25 Maret 1947 dalam suatu upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta. Perjanjian Linggarjati bagi Indonesia ada segi positif dan negatifnya. Segi positifnya ialah adanya pengakuan de facto atas RI yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatra. Segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI dari Sabang sampai Merauke, yang seluas Hindia Belanda dulu tidak tercapai.
  6. Melibatkan Komisi Tiga Negara. Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik yaitu Komisi Tiga Negara, dengan Anggota Richard Kirby (Australia), Paul van Zeeland (Belgia), dan Frank Graham (Amerika Serikat). Dalam pertemuannya pada tanggal 20 Oktober 1947, diputuskan bahwa tugas KTN di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara RIBelanda dengan cara damai. KTN tiba di Jakarta tanggal 27 Oktober 1947 untuk memulai pekerjaannya.
  7. Perjanjian Renville (8 Desember 1947 – 17 Januari 1948). KTN berusaha mendekatkan RI dan Belanda untuk berunding. Atas usul KTN, perundingan dilakukan di tempat netral, yaitu di atas kapal AL Amerika Serikat “USS Renville”, dihadiri oleh beberapa mediator PBB (Frank Graham cs), delegasi RI oleh Amir Syarifuddin, Ali Sastroamidjojo, Haji Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coa Tik Ien, dan Nasrun. Delegasi Belanda oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, Mr van Vredenburgh, PJ Koets, dan Mr. Soumokil. Perjanjian Renville menghasil kan keputusan: Penghentian tembak-menembak.  Daerah-daerah di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI. Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu. Membentuk Uni Indonesia-Belanda. Negara Indonesia Serikat yang ada di dalamnya sederajat dengan Kerajaan Belanda. Perjanjian ditandatangani Amir Syarifuddin (Indonesia) dan Abdulkadir Wijoyoatmojo (Belanda). Perjanjian ini mempersulit posisi Indonesia karena wilayah RI semakin sempit. Kesulitan bertambah setelah Belanda melakukan blokade ekonomi terhadap Indonesia. Perjanjian Renville kemudian mengundang reaksi keras, baik dari kalangan partai politik maupun TNI. Bagi kalangan partai politik, hasil perundingan memperlihatkan kekalahan perjuangan diplomasi. Bagi TNI, hasil perundingan mengakibatkan harus ditinggalkannya sejumlah wilayah pertahanan yang telah susah payah dibangun.
  8. Resolusi DK PBB (28 Januari 1949). Berkaitan dengan agresi militer Belanda II, pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi, sebagai berikut: Belanda harus menghentikan semua operasi militer dan pihak RI diminta untuk menghentikan aktivitas gerilya. Kedua pihak harus bekerja sama untuk mengadakan perdamaian kembali. Pembebasan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik dalam daerah RI oleh Belanda sejak 19 Desember 1948. Belanda harus memberikan kesempatan kepada pemimpin RI untuk kembali ke Yogyakarta dengan segera. Kekuasaan RI di daerah-daerah RI menurut batas-batas Persetujuan Renville dikembalikan kepada RI. Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepatcepatnya dengan dasar Persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville, dan berdasarkan pembentukan suatu Pemerintah Interim Federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949. Pemilihan Dewan Pembuat Undang Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 1949. Komisi Jasa-jasa Baik berganti nama menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nation for Indonesia atau UNCI). UNCI bertugas untuk: membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah RI, mengamati pemilihan, mengajukan usul mengenai berbagai hal yang dapat mem bantu tercapainya penyelesaian.
  9. Perjanjian Roem-Royen (17 April – 7 Mei 1949). Sejalan dengan perlawanan gerilya di Jawa dan Sumatra yang makin meluas, usaha-usaha diplomasi berjalan terus. UNCI mengadakan perundingan dengan para pemimpin RI di Bangka. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949 memerintahkan UNCI untuk membantu pelaksanaan resolusi DK PBB tanggal 28 Januari 1949. UNCI berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan tanggal 17 April 1949. Dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Mohammad Roem dan delegasi Belanda oleh Dr. Van Royen. Pertemuan dipimpin wakil UNCI Merle Cohran (Amerika Serikat). Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan, setiap delegasi mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri. Pernyataan delegasi Indonesia adalah:(1). Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta. (2). Kesediaan mengadakan penghentian tembak menembak. (3). Kesediaan mengikuti Konferensi Meja Bundar setelah pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta. (4). Bersedia bekerja sama dalam memulihkan perdamaian dan tertib hukum. Pernyataan dari pihak Belanda adalah. (1). Menghentikan gerakan militer dan membebaskan tahanan politik. (2). Menyetujui kembalinya Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta. (3). Menyetujui Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat. (4). Berusaha menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar. Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949. Pengembalian Yogyakarta ke tangan RI diikuti dengan penarikan mundur tentara Belanda dari kota tersebut. Tentara Belanda berhasil menduduki Yogyakarta sejak tanggal 19 Desember 1948–6 Juli 1949.
  10. Konferensi Inter-Indonesia (19-22 Juli 1949 dan 31 Juli–2 Agustus 1949). Sebelum KMB berlangsung, dilakukan pendekatan dan koordinasi dengan negara-negara bagian (BFO) terutama berkaitan dengan pembentukan RIS. Konferensi Inter-Indonesia dilakukan untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta tanggal 19–22 Juli 1949 dipimpin M Hatta. Konferensi Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta tanggal 30 Juli–2 Agustus 1949 dipimpin Sultan Hamid (Ketua BFO). Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada masalah pembentukan RIS, antara lain: Masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS, Kerja sama antara RIS dan Belanda dalam Perserikatan Uni. Hasil positif Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini. (1). Negara Indonesia Serikat yang nantinya akan dibentuk di Indonesia bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). (2). Bendera kebangsaan adalah Merah Putih.
 Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada ta Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Melalui Diplomasi
Sosok Muhammad Roem sangat terkenal sebagai salah satu tokoh diplomasi Indonesia, beliau terlibat aktif dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, dan Perundingan Roem Royen. Sebelum terlibat dalam dunia diplomasi, Muhammad Roem adalah seorang yang aktif dalam dunia organisasi. Beliau juga saksi sejarah Konggres Pemuda II mewakili JIB, yang berhasil mempersatukan pemuda Indonesia. Sosok Muhammad Roem yang religius dan berjuang tanpa pamrih untuk kepentingan bangsa Indonesia dapat menjadi teladan bagi pemuda Indonesia, yang tengah mengalami krisis kepemimpinan.